Pada mulanya Menkominfo Tifatul Sembiring memberi ultimatum menuntut RIM si pemilik (layanan) BlackBerry untuk memasang filter blokir konten pornografi.
Ketika kemudian datang bertubi-tubi kritik datang kepadanya tentang itu, menyusul kemudian enam tuntutan lainnya. Dengan argumen, katanya, sebenarnya tuntutan untuk memasang filter blokir pornografi itu bukan utama, melainkan yang enam itu. Isu nasionalisme pun dibawa-bawa untuk melawan para pengritiknya.
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Heru Sutadi ikut memperkuat pernyataan bosnya. Dia mengatakan bahwa ultimatum tentang sensor pornografi tersebut bukan misi utama.
“Soal blokir pornografi bukanlah tujuan utama, meski hal ini juga bermanfaat agar konten yang mencerdaskan yang dikonsumsi pengguna internet melalui BlackBerry,” jelasnya (detik.com 09/01/2011).
Pertanyaannya: Kok bisa yang lebih utama, malah menyusul kemudian?
Setelah hujan kritik belum juga reda, bahkan semakin banyak, menyusul satu tuntutan tambahan lagi. Yakni RIM harus memasang pusat datanya di Indonesia, dengan alasan supaya memudahkan aparat berwenang menyadap informasi dalam rangka penegakan hukum, dan untuk menghemat bandwidth internet internasional.
Masih belum cukup, yang terbaru menyusul lagi: Kata Sang Menteri lewat akun Twitter-nya bahwa selama ini RIM menangguk keuntungan bersih Rp. 189 miliar/bulan, atau Rp. 2,268 triliun/tahun tanpa membayar pajak sepeserpun kepada pemerintah RI.
Barangkali akan ada lagi tuntutan baru susulan?
Pertanyaan saya, dari semua tuntutan yang dikemukakan tersebut, apakah pemerintah khususnya Menkominfo Tifatul Sembiring baru sadar sekarang bahwa semua itu belum (sepenuhnya) dipenuhi oleh RIM?
Karena, kenapa setelah sekian tahun berlalu tuntutan tersebut baru muncul sekarang? Setelah pemakai BlackBerry sudah mencapai 3 jutaan? Kenapa tidak dari awal mengantisipasinya supaya tidak telanjur dipakai sedemikian banyak baru bertindak? Supaya kalau benar-benar BlackBerry mau diboikot tidak timbul “korban” sedemikian banyaknya?
Kenapa benar-benar serius, kenapa tidak mau mencontoh Tiongkok?
BlackBerry di sana sudah mau masuk sejak 2006, tetapi oleh pemerintah RRT diberi persyaratan-persyaratan berat terlebih dahulu, termasuk pemblokiran pornografi dan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang mereka anggap sensitif bagi pemerintahnya.
Setelah lewat perundingan yang alot dan cukup lama, baru tahun 2008 RIM dengan BlackBerry-nya bisa beroperasi di Tiongkok. Pemerintah RRT melakukan langkah preventif dan berhasil mengontrol penggunaan BlackBerry di sana.
Setelah tidak mencontoh RRT melakukan tindakan preventif seperti itu, apakah sekarang Indonesia mau meniru RRT ntuk melakukan kontrol seperti itu bagi pengguna BlackBerry?
Bukankah fenomena asing menguras kekayaan negara ini, bukan hanya seperti yang dikemukakan Tifatul tentang RIM dengan BlackBerry-nya, tetapi sangat banyak sudah, sedang, dan masih terus terjadi, seperti Freeport, dan lain-lain? Kok tidak belajar dari pengalaman? Telmi, atau bagiamana?
Lepas dari semua itu, toh, ternyata argumen-argumen ultimatum kepada RIM yang dikemukakan Tifatul dengan Kementerian Kominfo-nya masih masih dapat diperdebatkan.
Bahkan pernyataan Tifatul tentang RIM yang tidak bayar pajak, ternyata bisa dianggap sebagai suatu tindakan pelanggaran hukum khusus rahasia perpajakan. Apalagi soal pajak ini bukan kompetensi Menkominfo.
Ketika diminta konfirmasinya, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Pajak M. Iqbal Alamsyah mengatakan bahwa dia tidak boleh memberi informasi apakah RIM membayar pajak ataukah tidak selama ini. Karena menyangkut rahasia jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam pasal tersebut diatur bahwa pejabat, maupun tenaga ahli dilarang memberitahukan data-data tentang Wajib Pajak kepada pihak lain, kecuali untuk kepentingan pengadilan dan ada izin dari Menteri Keuangan.
Iqbal justru balik bertanya darimana Tifatul mendapatan data bahwa RIM sudah membayar pajak atau belum.
“Karena yang memberi keterangan beliau, silakan bertanya darimana Pak Tifatul mendapatkan data itu. Saya tidak mempunyai kapasitas menjawab, karena itu kerahasiaan,” katanya (VIVAnews.com, 11/01/2011).
Berkaitan dengan hal ini pula, banyak memberi pendapat bahwa apa yang dikemukakan oleh Tifatul tersebut juga tidak sepenuhnya benar. Karena RIM bermitra dengan enam operator di Indonesia, sebelum mereka membayar fee kepada RIM, apakah mungkin mereka tidak melakukan pemotongan pajak seperti Pph Pasal 20 terlebih dahulu?
Demikian juga dengan penjualan ponsel BlackBerry-nya. Bukankah perusahaan mitra juga mengimpornya secara legal, dan bayar pajak juga? Apakah biaya pajak itu tidak mereka memperhitungkan dengan RIM?
Meklanisme yang jelas bagiamana? Seharusnya ini dijelaskan oleh pejabat yang berkompeten di bidang pajak, bukan Menkominfo.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Telematka (Mastel) Indonesia, Mas Wigrantoro Setyadi mengatakan, seharusnya pemerintah memperjelas dulu posisi RIM di Indonesia. Apakah sebagai operator, atau bukan.
Sebab, bila RIM harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh operator, seperti membayar BHP frekuensi, membayar pajak, merekrut orang lokal, semestinya RIM pun selama ini harus memiliki izin operasi seperti layaknya operator.
Oleh karena itu, posisi RIM pun harus dipertegas, apakah ia sebagai penyedia layanan internet (ISP), ataukah sekadar vendor ponsel seperti halnya Nokia, atau juga penyedia layanan value added service seperti Google atau Yahoo.
Bila posisinya sudah jelas, perusahaan-perusahan lain yang sejenis, kata Waswig, juga harus diterapkan aturan yang sama. “Sebuah regulasi harus diterapkan secara adil,” tuturnya. (VIVAnews, 11/01/2011).
Sedangkan mengenai tuntutan pusat data harus ada di Indonesia dengan alasan supaya memudahkan aparat berwenang menyadap informasi dalam rangka penegakan hukum, dan untuk menghemat bandwidth internet internasional, didebat oleh antara lain pengamat teknologi informasi Onno W. Purbo, seperti yang dikutip Kompas.com yang melangsirnya dari Wiki Open Source Telkom Speedy:
“Mau server RIM di Indonesia yang diakses tetap aja Yahoo.com, Gmail.com, ya tetap aja traffic-nya ke Internasional. Kalau mau murah yang dipindah bukan server RIM. Yang dipindah ya server Yahoo.com, Gmail.com, Youtube.com, Facebook.com, Rapidshare.com, dll. Nah itu baru bisa bikin Internet murah. Kalau RIM aja yang dipindah sih gak ngefek banyak lah,” kata Onno.
Soal lokasi data center di Indonesia bisa mempermudah aparat berwenang melakukan penyadapan dan mencari informasi demi penegakan hukum, menurut Onno pun tidak berkorelasi langsung. Kecuali, pemerintah sudah punya kebijakan yang bisa memaksa RIM memberikan akses penuh ke data-data komunikasi yang diinginkan.
“Hehehe… Ini juga agak naif sebenernya. Bagi kita yang ada di dunia komputer/internet, lokasi server gak penting. Yang penting kita dikasih username & password buat akses ke server. Jadi kalau server ada di Indonesia tapi kita tidak dikasih username & password buat akses ya sama juga bohong. Tapi, walaupun server ada di Kanada tapi kita dikasih username & password buat akses ya bisa diakses,” jelas Onno.
Jadi, menurutnya aneh jika pemerintah memaksa RIM memindahkan server ke Indonesia cuma gara-gara mau melakukan sniffing atau penyadapan. Kalau tujuannya kelak meminta akses penuh kepada RIM untuk mengakses data-data pengguna yang selama ini terlindungi enkripsi, pemerintah pun tidak boleh tebang pilih. Penyedia layanan komunikasi lain juga harus diminta seperti Facebook, Yahoo, Gmail, dan lainnya. Tapi mungkinkah?
Kalau memang begini cerita sebenarnya, rasanya tidak berlebihan bahwa ultimatum tuntutan Menkominfo Tifatul Sembiring ini menjadi bumerang baginya. Membuat orang ragu akan kapasitasnya sebagai seorang Menkominfo, dan kemurnian sikap tegasnya terhadap RIM.
Ataukah ada keinginan untuk membuatrekor bagi Indonesia, sebagai satu-satu negara di dunia ini yang memblokir teknologi RIM dengan BlackBerry-nya?
Menurut Anda?