Pada dasarnya, di Indonesia sendiri aturan mengenai prosedur pergantian kelamin (transgender) memang belum diatur khusus. Akan tetapi, untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah diterbitkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”).
Adapun yang dimaksud dengan peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 17 UU Adminduk.
Nantinya, Pejabat Pencatatan Sipil-lah melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 16 UU Adminduk).
Dari definisi peristiwa penting di atas, memang pergantian jenis kelamin ini tidak termasuk peristiwa penting yang disebut dalam Pasal 1 angka 17 UU Adminduk. Akan tetapi, pergantian jenis kelamin ini dikenal dalam UU Adminduk sebagai “peristiwa penting lainnya”.
Dalam Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk diatur bahwa pencatatan peristiwa penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan yang dimaksud dengan “peristiwa penting lainnya” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada Instansi Pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin.”
Jadi, Anda benar bahwa perubahan jenis kelamin atau transgender yang dialami teman Anda itu perlu didahului dengan penetapan dari pengadilan negeri untuk kemudian dicatatkan pada instansi pelaksana. Adapun yang dimaksud dengan instansi pelaksana adalah pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan (Pasal 1 angka 7 UU Adminduk). Pelaporan perubahan jenis kelamin ini merupakan kewajiban teman Anda yang diatur dalam Pasal 3 UU Adminduk:
“Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.”
Sejalan dengan aturan dalam UU, sebagai contoh prosedur permohonan penetapan pengadilan soal perubahan jenis kelamin ini juga dikatakan dalam artikel Ganti Kelamin Harus Lewat Pengadilan antara lain disebutkan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta menegaskan bahwa perubahan status jenis kelamin dalam akta kelahiran harus didasarkan pada penetapan pengadilan. Penetapan itu juga harus didasarkan pada keterangan para ahli dan tidak bisa sembarangan.
Sebagai tindak lanjut dari aturan dalam UU Adminduk telah diterbitkanPeraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 25/2008”).
Serupa dengan aturan dalam Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk tentang pencatatan peristiwa penting lainnya, dalam Pasal 97 ayat (2) Perpres 25/2008 ini juga disebut bahwa peristiwa penting lainnya yang dimaksud antara lain adalah perubahan jenis kelamin.
Menjawab pertanyaan Anda soal syarat yang harus disiapkan untuk mengajukan permohonan penetapan pengadilan, pada dasarnya, hal tersebut ditentukan masing-masing pengadilan. Oleh karena itu, kami menyarankan agar teman Anda bertanya langsung kepada pengadilan negeri setempat mengenai syarat apa yang diperlukan.
Sebagai contoh yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Tapaktuan dijelaskan mengenai alur permohonan penetapan pengadilan yakni untuk permohonan penetapan akta lahir. Pada dasarnya untuk meminta penetapan, dibutuhkan bukti-bukti yang mendukung permohonan penetapan tersebut. Seperti dalam hal penetapan akta lahir, yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1. Foto Kopi Surat Nikah/Surat Keterangan Nikah dari Kepala Desa/KUA Kec Sebanyak 1 Lembar;
2. Foto Kopi Kartu Keluarga (KK) Sebanyak 1 Lembar;
3. Foto Kopi KTP Pemohon Sebanyak 1 Lembar;
4. Foto Kopi Surat Keterangan Kelahiran dari Bidan/Dokter Sebanyak 1 Lembar.
Jadi memang, baiknya teman Anda membawa surat keterangan dari rumah sakit juga. Setelah teman Anda mendapatkan penetapan pengadilan soal perubahan jenis kelamin, maka ia wajib melaporkan persitiwa itu untuk kemudian dilakukan pencatatan pelaporan peristiwa penting lainnya oleh pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana setempat (lihat Pasal 97 ayat (1) Perpres 25/2008).
Adapun syarat-syarat yang harus ia penuhi adalah berupa (Pasal 97 ayat (3) Perpres 25/2008):
a. penetapan pengadilan mengenai peristiwa penting lainnya;
b. KTP dan KK yang bersangkutan; dan
c. Akta Pencatatan Sipil yang berkaitan peristiwa penting lainnya.
Pencatatan peristiwa penting lainnya itu dilakukan dengan tata cara (Pasal 97 ayat (4) Perpres 25/2008):
a. pelapor mengisi dan menyerahkan Formulir Pencatatan Peristiwa Penting Lainnya dengan melampirkan persyaratan-persyaratan tersebut
b. Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana melakukan verifikasi dan validasi berkas pelaporan peristiwa penting lainnya, dan mencatat serta merekam dalam register peristiwa penting lainnya pada database kependudukan
c. Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada Register Akta Pencatatan Sipil dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
Sebagai contoh dalam artikel Pengadilan Makassar Ijinkan Sri Ganti Jenis Kelamin, diberitakan bahwa Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan, mengabulkan permohonan Sri Wahyuni, seorang mahasiswi yang hendak mengganti status jenis kelaminnya dari perempuan menjadi lak-laki.
Muh Damis, salah satu hakim dalam permohonan ini, mengatakan bahwa permohonan pemohon dikabulkan karena dari hasil keterangan psikolog, terungkap potensi pemohon akan lebih berkembang dengan statusnya sebagai laki-laki. Selain alasan itu, dikabulkannya permohonan tersebut juga atas pertimbangan hukum agama. Menurutnya, pergantian jenis kelamin atas dasar nafsu memang diharamkan. Namun, jika karena alasan medis, diperbolehkan dalam aturan. Dalam kesaksiannya ibu pemohon juga mengungkapkan bahwa sejak bayi, pemohon atau Sri Wahyuni memang tidak mempunyai kelamin laki-laki sehingga didaftarkan di kelurahan sebagai perempuan dan diberi nama Sri Wahyuni. Setelah berjalannya waktu, perubahan genetika Sri Wahyuni terjadi dan tanda-tanda perubahan mulai terlihat dari bentuk fisiknya seperti lelaki pada umumnya ketika mulai menginjak usia remaja. Tanda-tanda fisik yang dimiliki Sri Wahyuni selain kelamin yakni memiliki jakun, suara yang besar seperti laki-laki, tidak pernah datang bulan atau menstruasi serta cara berjalannya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Referensi:
1. http://megapolitan.kompas.com/read/2010/05/07/21001631/Ganti.Kelamin.Harus.Lewat.Pengadilan, diakses pada 24 Desember 2014 pukul 15.29 WIB;
2. http://www.antaranews.com/berita/451417/pengadilan-makassar-ijinkan-sri-ganti-jenis-kelamin, diakses pada 29 Januari 2014 pukul 18.00 WIB.
hukumonline.com